Selasa, 12 Februari 2013


Pengertian dan Fungsi Sertifikat Hak Atas Tanah

    TAUFIKURRAHMAN SH MH

Tanah/lahan merupakan suatu rahmat dan anugerah dari Allah SWT yang sengaja diciptakan untuk tempat bermukimnya mahluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya.
Pengertian ini memberikan makna bahwa manusia sebagai mahluk hidup sangat membutuhkan tanah/lahan, baik digunakan sebagi tempat tinggal, tempat bercocok tanam, maupun untuk tempat usaha lainnya, sementara persediaan lahan yang ada sangat terbatas. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa setiap orang berusaha menguasai dan mempertahankan bidang-bidang tanah/lahan tertentu termasuk mengusahakan status hak kepemilikannya.
Dalam sistem hukum Agraria di Indonesia dikenal ada beberapa macam hak penguasaan atas tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1961 tentang Pokok Agraria, yaitu antara lain: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan.
Pada dasarnya istilah “sertifikat” itu sendiri berasal dari bahasa Inggris (certificate) yang berarti ijazah atau Surat Keterangan yang dibuat oleh Pejabat tertentu. Dengan pemberian surat keterangan berarti Pejabat yang bersangkutan telah memberikan status tentang keadaan seseorang.
Istilah “Sertifikat Tanah” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai surat keterangan tanda bukti pemegang hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah bahwa telah menerangkan bahwa seseorang itu mempunyai hak atas suatu bidang tanah, ataupun tanah seseorang itu dalam kekuasaan tanggungan, seperti sertifikat Hipotek atau Kreditverband, berarti tanah itu terikat dengan Hipotek atau Kreditverband  (Budi Harsono:1998).
Pengertian Sertifikat Tanah dapat dilihat dasarnya yaitu dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 19, menyebutkan bahwa:
Ayat (1)   Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)  Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a.    Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b.    Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c.    Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Dengan berdasar ketentuan Pasal 19 UUPA, khususnya ayat (1) dan (2), dapat diketahui bahwa dengan pendaftaran tanah/pendaftaran hak-hak atas tanah, sebagai akibat hukumnya maka pemegang hak yang bersangkutan akan diberikan surat tanda hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah tersebut.
Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau disebut juga Sertifikat Hak terdiri salinan Buku Tanah dan Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul. Sertifikat tanah memuat:
a.    Data fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik tanah dan beban yang ada di atas tanah;
b.    Data yuridis: jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak.
Istilah “sertifikat” dalam hal dimaksud sebagai surat tanda bukti hak atas tanah dapat kita temukan di dalam Pasal 13 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961, bahwa:
Ayat (3)   Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur setelah dijahit secara bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut Sertifikat  dan diberikan kepada yang berhak”.
Ayat (4)   Sertifikat tersebut pada ayat (3) pasal ini adalah surat tanda bukti hak yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria”.
Serifikat hak atas tanah ini diterbitkan oleh Kantor Agraria Tingkat II (Kantor Pertanahan) seksi pendaftaran tanah. Pendaftaran itu baik untuk pendaftaran pertama kali (recording of title) atau pun pendaftaran berkelanjutan (continious recording) yang dibebankan oleh kekuasaan hak menguasai dari negara dan tidak akan pernah diserahkan kepada instansi yang lain. Sertifikat tanah yang diberikan itu dapat berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah, apabila dipersengketakan.
Berdasarkan keadaan bahwa pada saat ini banyak terjadi sengketa di bidang  pertanahan, sehingga menuntut peran maksimal dan profesionalisme yang tinggi dari petugas Kantor Pertanahan yang secara eksplisit tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan waktu untuk menyelesaikan proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan maupun pengenaan sanksi kepada petugas Kantor Pertanahan apabila melakukan kesalahan dalam pelaksanaan seluruh dan atau setiap proses dalam pendaftaran tanah. Hal ini erat kaitannya dengan hakikat dari sertifikat tanah itu sendiri, yaitu:
  1. Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak baik oleh manusia secara perorangan maupun suatu badan hukum;
  2. Merupakan alat bukti yang kuat bahwa subjek hukum yang tercantum dalam sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya, sebelum dibuktikan sebaliknya atau telah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan sertifikat tanah;
  3. Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak atas tanah tersebut.

Proses Penyelidikan dan Penyidikan

Proses Penyelidikan dan Penyidikan



Dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak satu pasal pun yang mengatur tentang penyelidikan maupun penyidikan kecuali mengenai siapa yang berhak mengusut suatu kejahatan atau pelanggaran. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 (LN 1950 Nomor 53), menunjuk Het Herziene Inlandsch Reglement/RIB, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tersebut yang menyatakan bahwa bagi hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman Herziene Inlandsch Reglement dengan perubahan-perubahan seperti yang dimuat dalam undang-undang ini.
Sebagaimana diketahui dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka Herziene Inlandsch Reglement dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga atas dasar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 yang menjadi pedoman dalam melakukan penyelidikan terhadap suatu perkara pidana dalam lingkungan peradilan militer adalah KUHAP.
Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP memberikan suatu pengertian tentang apa yang dimaksud dengan penyelidikan yaitu :
serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Menurut Yahya Harahap (2003:101) mengatakan bahwa penyelidikan adalah :
Tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, akan tetapi harus diingat penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan.
Ketentuan hukum acara pidana militer mengatur bahwa penyelidikan terhadap suatu peristiwa pidana adalah sama dengan yang diatur dalam KUHAP, kecuali bahwa jika dalam KUHAP ditentukan bahwa untuk melakukan penyelidikan adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sedangkan dalam hukum acara pidana militer yang berwenang melakukan penyelidikan adalah Polisi Militer. Penyelidikan yang dilakukan oleh Polisi Militer bukanlah suatu wewenang yang berdiri sendiri melainkan terpisah dari wewenang untuk melakukan penyidikan tetapi merupakan bagian dari fungsi penyidikan yang merupakan tindakan permulaan yang mendahului tindakan lain seperti penangkapan, penahanan, penyitaan guna penyelesaian perkara pidana tersebut.
Apabila dalam hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Polisi Militer ditemukan adanya suatu tindak pidana dan tersangkanya ditemukan, maka Polisi Militer segera melaporkan pada atasan yang berhak menghukum atau kepada atasan langsung tersangka. Adapun atasan langsung yang dapat memerintahkan penahanan terhadap seorang tersangka pada peradilan militer berdasarkan Surat Keputusan Atasan Yang Berhak Menghukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 dalam Pasal 69 diatur bahwa :
(1)  Penyidik adalah :
a. Atasan yang berhak menghukum;
b. Polisi Militer;
c. Oditur.
(2)  Penyidik Pembantu adalah :
a.    Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat;
b.    Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut;
c.    Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara; dan
d.    Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa antara penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi Militer bukanlah wewenang yang berdiri sendiri, hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (1982:27) bahwa :
Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari fungsi penyidikan, yang melalui tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.
Tindak  pidana yang dilakukan oleh subjek hukum pidana militer, maka fungsi penyidikan juga berada pada Polisi Militer namun sebelum melakukan penyidikan, maka penyidik melapor kepada oditur militer untuk meminta petunjuk-petunjuk apakah tindakan tersangka termasuk suatu tindak pidana atau hanya merupakan pelanggaran disiplin militer. Adapun ketentuan tentang bagaimana pelaksanaan penyidikan di atur dalam Pasal 99 sampai Pasal 121 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Teori-teori Pembuktian



Untuk menilai kekuatan pembuktian terhadap alat-alat bukti, maka menurut Ansori Sabuan (1990:186-189) ada 4 (empat) sistem pembuktian yaitu :
        Sistem pembuktian keyakinan belaka, menurut sistem ini hakim dianggap cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan hukum, hingga dengan sistem ini hakim dapat mencari dasar putusannya itu menurut perasaan semata-mata, hingga dengan demikian atas dasar perasaan itu dapat dipakai untuk menentukan apakah sesuatu keadaan dianggap telah terbukti atau tidak. Dalam sistem ini hakim tidak diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai dasar putusannya namun demikian kalau hakim dalam putusannya itu dengan menyebut alat bukti yang dipakai, maka hakim bebas menunjuk alat bukti itu, termasuk upaya pembuktian yang sekira sulit diterima dengan akal. Misalnya adanya kepercayaan terhadap seorang dukun setelah mengadakan upacara yang bersifat mistik dapat menetapkan siapa yang salah dan siapa yang tidak salah dalam suatu tindak pidana. Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim.
        Sistem pembuktian menurut Undang-Undang yang positif (positief wettelijk), dalam sistem ini Undang-Undang menentukan alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya, asal alat bukti itu telah dipakai secara yang ditentukan oleh Undang-Undang maka hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya, walaupun barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas kebenaran putusan itu. Sebaliknya bila tidak dipenuhi persyaratan tentang cara-cara mempergunakan alat bukti itu sebagaimana ditetapkan Undang-Undang, maka hakim akan mengambil putusan yang sejajar artinya bahwa putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan adanya, walaupun dalam hal ini mungkin hakim berkeyakinan atas hal tersebut. Misalnya ada dua orang saksi telah disumpah mengatakan kesalahan tersangka, meskipun kemungkinan hakim berkeyakinan bahwa terdakwa itu tidak melakukan pelanggaran hukum, maka hakim akan menjatuhkan putusan adanya kesalahan bagi terdakwa tersebut. Demikian pula sebaliknya andaikan dua orang saksi itu menyatakan tidak adanya kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa, maka walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa melakukan pelanggaran hukum, maka hakim harus membebaskannya.
  
        Sistem pembuktian menurut Undang-Undang yang negatif (negatief wettelijk), menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-Undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pada itu Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa :Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Atas dasar Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut Undang-Undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh Undang-Undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada tau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menurut teori ini hakim baru boleh menyatakan seseorang bersalah jika telah dapat dipenuhinya syarat-syarat bukti menurut Undang-Undang, ditambah dengan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Dengan demikian walaupun sudah cukup bukti yang sah, tetapi jika hakim tidak yakin ataupun hakim telah yakin tetapi jika bukti yang sah belum cukup, maka hakim belum boleh menjatuhkan pidana atas diri terdakwa.
        Sistem pembuktian bebas (vrije bewijstheorie), dalam teori ini ditentukan bahwa hakim di dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan sama sekali tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti yang termaktub dalam Undang-Undang, melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan alasan-alasan yang tetap menurut logika. Sistem ini di dalam ilmu pengetahuan juga dinamakan sebagai teori conviction raissonee. Jadi, menurut teori ini alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan dalam Undang-Undang. Hal ini tidaklah berarti bahwa menurut teori tersebut tidak dikenal alat bukti dan cara pembuktiannya. Hanya semua itu tidak dipastikan dalam Undang-Undang sebagaimana teori-teori di atas. Oleh karena itu dalam menentukan macam dan banyaknya bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa, hakim sangat bebas dalam arti tidak terikat oleh suatu ketentuan.
2.   Konsep Umum Tentang Teori Pembuktian
            Dalam pembuktian perkara pada umumnya dan khusunya delik korupsi diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain ditetapkan Hukum Acara Pidana, yaitu pada Bab IV pasal 25 sampai dengan Pasal 40 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Dalam hal pembuktian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan revisi atas Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1971 menerapkan pembuktian terbalik namun bersifat “terbatas” dan “berimbang”. Sistem ini tidak sama dengan hukum pembuktian dalam KUHAP. Penerapan sistem ini lebih kepada inginnya para pembuat undang-undang mengefektifkan Undang-Undang Korupsi agar dapat memberantas atau minimal menekan perkembangan perbuatan korupsi itu tersebut.
            Adapun beberapa teori pembuktian yang selama ini dikenal dan sempat berlaku dalam perkembangan hukum pembuktian adalah sebagai berikut:
a.   Teori Tradisional
Bosch-Kemper, (Martiman Projohamidjojo, 2001:100), membagi teori tentang pembuktian yang tradisional, yakni:
1.   Teori negatief
Teori ini menyatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Teori ini dianut oleh HIR, sebagaimana tertera dalam Pasal 294 HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah:
a.    Keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada:
b.    Alat-alat bukti yang sah.
2.   Teori Positief
 Teori ini menyatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti minimum itu kedapatan, bahkan hakim diwajibkan menyatakan kesalahan terdakwa. Titik berat dari ajaran ini adalah positivistis. Jika tidak ada bukti maka terdakwa tidak akan dihukum.
Teori ini dianut KUHAP, sebagai dalam Pasal 183 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “
3.   Teori bebas
Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum yang dijadikan pokok. Asal sajaada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa, yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman.
b.   Teori Modern
Teori modern dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kategori, yaitu sebagai berikut:
  1. Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gameodelijke overtuiging, atau conviction intime)
Teori ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan penyerahan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan hakim dan terkesan hakim sangat bersifat subyektif. Hakim harus mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan Dasar pertimbangan menggunakan pikiran secara logika dengan memakai silogisme, yakni premis mayor, premis minor, dan konklusio.
Kelemahan pada sistem ini adalah terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit melakukan pengawas.
  1. Teori Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie)
Dalam teori undang-undang menetapkan alat-alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim dan cara bagai mana mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat itu sedemikian rupa. Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai yang sudah ditetapkan oleh undang-undang maka hakim harus menetapkan keadaan sudah terbukti, walaupun hakim berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar.
Kelemahan pada sistem ini adalah tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran.
  1. Teori Pembuktian menurut undang-undang secara negatif(negatief wettelijke bewijstheorie) dan teori keyakinan atas alasan negatif(beredeneerde vertuging atau conviction raisonnee)
Kedua teori ini jika dikomparasikan, masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan Persamaannya terletak pada hal mana hakim diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan keyakinan harus disertai penyebutan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaiaan buah pikiran. Sedangkan perbedaanya terletak pada hal mana dalam teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif menghendaki alasan-alasan yang disebutkan oleh undang-undang sebagai alat bukti.
Pada teori keyakinan atas alasan negatif, hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan tidak terikat pada penyebutan alasan-alasan untuk mengambil putusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti dan cara menggunakan alat-alat bukti dalam undang-undang melainkan hakim bebas untuk memakai alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang tepat menurut logika.
4.   Teori pembuktian negatif menurut undang-undang
Teori ini dianut oleh KUHAP sebagaimana yang tertera dalam Pasal 183 yang berbunyi sebagai berikut:
      “Hakim tidak boleh menjalankan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “
Penggunaan kata “sekurang-kurangnya” dalam pasal ini memberikan limitatif pada alat bukti yang minimum, yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Sedangkan penggunaan kata “alat bukti yang sah” menunjukkan pengertian bahwa hanyalah alat-alat bukti yang diatur dan diakui oleh undang-undang yang dapat ditetapkan sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian pidana pada umumnya ataupun delik korupsi pada khususnya.
Kemudian dalam pasal 184 KUHAP, yang menyatakan beberapa alat bukti yang dapat digunakan pada proses pembuktian pidana, yaitu:
a.   Keterangan saksi;
b.   keterangan ahli;
c.   surat;
d.   petunjuk
e.   keterangan terdakwa.
   Ketentuan pasal ini menentukan alat-alat bukti dan dari alat-alat bukti itu dipakai dua alat bukti minimum.
      Pembentukan undang-undang lebih mendasarkan pembuktian tentang kesalahan terdakwa dengan alat bukti kesaksian (terutama), karena dalam pemeriksaan baik dimuka penyidik, penuntut umum maupun hakim terdakwa terdapat kecenderungan untuk mengelak ataupun memungkinkan kejadian perbuatannya masa lampau.
5.   Teori Pembuktian Terbalik
   Dalam upaya melakukuan pemberantasan tindak pidana korupsi, pembentukan undang-undang telah memformulasikan pendekatan baru dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal tersebut didasarkan pada suatu asumsi bahwa semakin sulitnya pelaku tindak pidana korupsi dibuktikan kejahatan yang dilakukan di muka pengadilan, yang memungkinkan pembentuk undang-undang menerapkan sistem pembuktian terbalik pada terdakwa. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mempertegas penerapan sistem pembuktian terbalik bagi pelaku tindak pidana korupsi.
   Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, kedua menerapkan sistem pembuktian terbalik yang bersifat “terbatas dan berimbang”. Sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang adalah bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikn bahwa ia tidak malakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya, dan harta benda istrinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaanya di pengadilan.
   Penggunaan kata “terbatas” dalam memori pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dikatakan bahwa terdakwa dapat mebuktikan dalilnya bahwa terdakwa tidak terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, melainkan penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sedangkan penggunaan kata “berimbang” dalam ketentuan tersebut berarti bahwa antara income (pendapatan) terdakwa dalam rasio pengeluaran (output) harus sebanding atau berimbang dengan perolehan harta yang didapatnya.
   Proses pemeriksaan delik korupsi terdapat dua Hukum Acara Pidana, yakni hukum acara yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagai penyimpangan pada KUHAP. Hukum Acara Pidana yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
   Menururt penulis dalam pembuktian tindak pidana korupsi terdapat dua teori pembuktian yang dianut, yakni:
(a)  Teori bebas yang diturut oleh terdakwa
Teori bebas ini secara eksplisit telah tercermin dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yakni sebagai berikut:
1.   Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa tidak melakukan tindak pidana korupsi;
2.   dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal menguntungkan baginya;
3.   Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan;
4.   Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi;
5.   Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
(b)  Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum
Teori negatif menurut undang-undang ini secara tersirat tercermin dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Persyaratan pemberian pidana dalam sistem KUHAP sangat berat yakni:
1.   Minimum dua alat bukti yang sah menurut undang-undang;
2.   Keyakinan hakim;
3.   Ada tindak pidana yang benar terjadi;
4.   Terdakwa itu manusianya yang melakukan perbuatan;
5.   Adanya kesalahan pasa terdakwa;
6.   Macam pidana apa yang dijatuhkan hakim;
Kembali pada persoalan pokok, pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang maka begaimana pelaku menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 danUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap wacana tersebut. Olehnya penulis dapat menggambarkan tentang proses pidana dalam peradilan sebagai berikut :
a.   Sikap Terdakwa
Bagi terdakwa, wacana ada beberapa segi yang perlu diperhatikan dalam memilih alternatif; apakah ia menggunakan hak itu atau tidak, karena menggunakan hak atau tidak masing-masing memiliki konsekuensi.
Dalam menggunakan hak terdakwa ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa yakni :
(1)  Untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak melakukan delik korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya oleh penuntut umum;
(2)  Terdakwa berkewajiban untuk memberikan keterangan terhadap seluru harta bendanya sendiri, harta benda istri atau suami (jika terdakwa adalah perempuan), harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang bersangkutan.
Syarat pertama        merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP, yang menentukan bahwa penuntut umum wajib membuktikan dilakukan tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktika dalil, bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Syarat kedua ialah terdakwa berkewajiban memberi keterangan tentang asal usul/perolehan hak atau asal usul/pelepasan hak atas harta benda pribadi, anak, istrinya maupun orang lain atau korporasi yang diduga berkaitan dengan delik korupsi. Perolehan/pelepasan hak itu mengenai kapan, bagaimana, dan siapa saja yang terlibat dalam perolehan/pelepasan hak itu serta mengapa dan sebab-sebab apa perolehan atau peraliahan itu terjadi. Penggunaan hak bagi terdakwa dapat menguntungkan dan merugikan kedudukan terdakwa dalam pembelaannya.
b.   Sikap penuntut umum
Penuntut umum tidak mepunyai hak atas hak yang diberikan undang-undang terhadap diri terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalan requisitornya. Apabila terdakwa dapat membuktikan hak tersebut, bahwa ia tidak melakukan delik korupsi, tidak berarti bahwa ia terbukti atau tidak melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan terbalik terbatas, dan penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaanya sesuai dengan teori negatif menurut undang-undang adalah pada terdakwa ada kesalahan atau tidak dan apa terdakwa inilah yang melakukan perbuatan.
c.   Sikap Hakim
Terhadap keterangan terdakwa itu, hakim akan mempertimbangkan semuanya dan sikap hakim, bebas dalam menentukan pendapatnya sebagai berikut :
(1)  Keterangan terdakwa itu hanya berlaku bagi terdakwa sendiri saja;
(2)  Jika keterangan terbukti tidak melakukan delik korupsi, maka keterangan itu dipakai sebagai hal yang menguntungkan pribadinya;
(3)  Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang/sebanding dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan, maka keterangan itu dapat dipergunakan untuk meperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
d.   Perhatian Penegak Hukum
Perlu diperhatikan dalam menerapkan teori negatif menurut undang-undang terdapat dua hal menjadi syarat, yakni:
1.   Wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang;
2.   Negatief, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah ditetapkan oleh undang-undang saja belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan akan tetapi masih dibutuhkan keyakinan hakim.
Antara alat-alat bukti dan keyakinan hakim diharuskan adanya hubungan sebab akibat (kausal).
Pasal 183 KUHAP mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan keyakina hakim bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya. Karena itu oleh pembentukan undang-undang diajukan 5 (lima) macam alat bukti (Pasal 184 KUHAP), akan tetapi hakim tidak yakin bahwa suatu delik korupsi telah terjadi dan terdakwa bersalah telah melakukannnya, maka hakim pidana akan melepaskan terdakwa atau akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsvervoging).
Asas negatif wettelijk tercermin pula secara nyata pada pasal 189 ayat (4) KUHAP, bahwa berdasarkan “keterangan terdakwa” saja tidak cukup membuktikan terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan, melainkan harus disertakan dengan alat-alat bukti yang lain. Jadi, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidanakepada terdakwa hanya berdasarkan satu saksi saja (unus testis nullus testis), oleh karena dianggap sebagai bukti yang tidak cukup (Pasal 185 ayat 2 KUHAP), artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh hakim. (onvoldoende bewijs)
Menurur Wiryono Projodikoro (1967:74), bahwa teori pembuktian negatif menurut undang-undang sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan:
(1)  Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu pidana, jangan hakim terpaksa memberikan pidana kepada terdakwa sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa;
(2)  Berfaedah, jika ada aturan yang mengikat dalam neyusun keyakinannya agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Sedangkan menurut D. Simons (1910:152), menyatakan bahwa teori pembuktian negatif menurut undang-undang ini, pemidanaan didasarkan pada pembuktian yang berganda (dobble grond-slag) yaitu peraturan undang-undang dan keyakinan hakim dan menurut undang-undang.

Perbedaan Proses Pemeriksaan Tindak Pidana Militer dan Proses Pemeriksaan Koneksitas



Secara umum perbedaan antara proses pemeriksaan tindak pidana militer dan proses pemeriksaan koneksitas yaitu :
1.    Proses pemeriksaan tindak pidana militer secara keseluruhan dilakukan oleh peradilan militer sedangkan proses pemeriksaan perkara koneksitas dapat dilakukan pada pengadilan militer dan juga pada peradilan umum.
2.    Proses pemeriksaan tindak pidana militer tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sedangkan perkara koneksitas berpedoman atau diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP khususnya dalam Pasal 89 sampai 94.
3.    Dalam proses pemeriksaan tindak pidana militer penyidikan dilakukan oleh Atasan yang berhak Menghukum, Polisi Militer dan Oditur Militer sedangkan dalam perkara koneksitas pelaksanaan penyidikan yang menurut pendapat A. Abu Ayyub Saleh (2004:4) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari :
a.    Penyidik, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP
b.    Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
c.    Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi
Lebih lanjut menurut A. Abu Ayyub Saleh  (2004:5) bahwa :
a.    Tim penyidik tersebut di atas melakukan kewenangannya masing-masing sesuai ketentuan Pasal 89 ayat 2 KUHAP
b.    Tim penyidik tersebut dibentuk dengan Surat Keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman RI sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (3) KUHAP.   
        Konsekuensi Yuridis Setelah Polri Keluar dari ABRI 
Setelah institusi Kepolisian Republik Indonesia keluar dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tentunya menimbulkan dampak, baik terhadap institusi Polri itu sendiri maupun institusi ABRI. Dengan keluarnya Polri dari institusi ABRI maka secara otomatis bagi anggota Polri yang terlibat dalam suatu tindak pidana tidak lagi diperiksa dan dituntut pada peradilan militer akan tetapi berdasarkan Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa :
“Proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum”.
Sebelum institusi Polri keluar dari ABRI, apabila ada anggota Polri yang terbukti atau patut diduga melakukan suatu tindak pidana, maka akan diperiksa oleh peradilan militer berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, akan tetapi dengan keluarnya institusi Polri maka secara yuridis berdampak pada tidak berwenangnya peradilan militer untuk memeriksa dan mengadili anggota Polri yang melakukan tindak pidana.
Dalam hal penyidikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri, maka berdasarkan ketentuan TAP MPR Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 4 dijelaskan :
Penyidikan terhadap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur menurut hukum acara pidana yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sangat jelas bahwa konsekuensi yuridis dengan keluarnya Polri dari ABRI yaitu peradilan militer tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa anggota Polri yang melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi Polri dianggap sebagai pihak sipil dan bukan lagi anggota MIliter yang apabila terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka akan diperiksa berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Alat Bukti dan Barang Bukti.


Alat Bukti dan Barang Bukti
Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa ada lima alat bukti yang dapat digunakan dalam membuktikan apakah seseorang atau korporasi bersalah melakukan suatu tindak pidana yaitu :
1.    Keterangan saksi
2.    Keterangan Ahli
3.    Surat
4.    Petunjuk
5.    Keterangan Terdakwa
Kelima alat bukti inilah yang digunakan oleh aparat penegak hukum dalam memeriksa dan mengungkap suatu perkara pidana termasuk tindak pidana korupsi. Dengan adanya ketentuan khusus yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), maka di dalam ketentuan tersebut juga diatur atau disebutkan tentang alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam mengungkap kasus korupsi. Walaupun dalam undang-undang korupsi juga diatur secara khusus tentang alat bukti yang dapat digunakan dalam memeriksa kasus korupsi, akan tetapi secara umum apabila terdapat ketentuan yang tidak diatur khusus dalam ketentuan tersebut, maka tetap berpedoman pada KUHAP sebagai payung hukum acara formil.
Sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan lima jenis alat bukti yang sah dan jika dihubungkan dengan jenis alat bukti tersebut, terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana apabila kesalahannya dapat dibuktikan dengan paling sedikit dua jenis alat bukti atau memenuhi prinsip minimum pembuktian ditambah dengan keyakinan Hakim.
Jenis alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam Pasal 26 A yaitu :
1.    Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2.    Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Berdasarkan  Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, maka menurut Ratna Nurul Afiah (1989:19), harus memenuhi unsur :
a.    Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
b.    Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Menurut A. Hamzah (2004;112) menyatakan tentang barang bukti atau benda yang dapat disita yaitu :
Barang-barang kepunyaan tersangka yang diperoleh karena kejahatan dan barang-barang yang dengan sengaja telah dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 181 KUHAP mengatur tentang pemeriksaan barang bukti di persidangan, yaitu sebagai berikut :
a.    Hakim, ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-Undang ini.
b.    Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.
c.    Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya meminta keterangan seperlunya tentang hal tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tampak bahwa dalam proses pembuktian tindak pidana keberadaan alat bukti dan barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang sedang ditangani atau diperiksa. Pendapat dari Ratna Nurul Afiah (1989:20) bahwa :
      Barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Misalnya : Si A didakwa telah mencuri kalung emas milik Si B seberat 10 gram, dalam persidangan untuk mengejar kebenaran apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum maka setelah memeriksa terdakwa dan saksi, hakim pun memperlihatkan barang bukti (kalung emas) tersebut, dan menanyakan kepada terdakwa dan saksi apakah ia mengenal kalung tersebut, dan apakah betul kalung tersebut yang dicuri oleh terdakwa dan apakah benar kalung itu adalah milik B dan seterusnya.  Lebih lanjut di kemukakan bahwa apabila dikaitkan antara Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan Pasal 181 ayat (3) KUHAP, maka barang bukti itu akan menjadi keterangan saksi jika keterangan tentang barang bukti itu dimintakan kepada saksi atau keterangan terdakwa jika keterangan tentang barang bukti itu dimintakan kepada terdakwa.

Makalah Hukum Internasional : Tata Cara Penyelesaian Sengketa Internasional

Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Yudisial
            Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dihadirkan melalui suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagai mana mestinya dengan memberlakukan kaedah-kaedah hukum. Metode Penyelesaian sengketa internasionaal adalah melalului pengadilan. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.
            Pengadilan dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Contoh pengadilan internasional adalah mahkamah internasional( internasional court of justice/ ICJ) dan mahkamahpidan internasional ( internasional criminal court / ICC). Contoh pngadilan ad hoc atau pengadilan khusus adalah mahkamahinternasional untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda (Internasional Criminal Tribunal For The Farmer Yugoslavia / ICTY) dan ( Internasional Criminal Tribuna for Rwanda / ICTR). Pengadilan ad-hoc ini mempunya mandat terbatas pada waktu dan wilayahnya.
2.3.2. Penyelesaian Melalui Badan Peradilan Internasional
            Salah satu alternative penyelesaian sengketa internasional secara hukum atau judicial settlement  seperti yang telah diuraikan diatas adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional (world court atau internasional court)[1].
2.3.2.1. Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) adalah organ yuridis dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Kedudukan Mahkamah berada di Istana Perdamaian (Peace Palace) di kota Den Haag, Belanda. Mahkamah ini sejak tahun 1946 telah menggantikan posisi dari Mahkamah Permanen untuk Keadilan Internasional (Permanent Court of International Justice) yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Statuta Mahkamah Internasional menjadi bagian yang tidakk terpisahkan dengan Piagam PBB.[2]
Mahkamah internasional adalah organ utama lembaga kehakiman PBB, yang kedudukan di Den Haag, Belanda. Mahakamah ini mulai berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti MIP (mahkamahinternasional permanen)[3]. Fungsi utama MI adalah untuk menjelaskan kasus-kasus persengkataan intersional yang subjeknya adalah negara. Statuta adalah hukum-hukum yang terkandung.
      Pasal 9 Statuta Mahkamahinternasional menjelaskan, komposisi ICJ terdiri dari 15 hakim. Ke-15 calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap dibidang hukum internasional, untuk memilih anggota mahkamah dilakukan pemungutan suara secara independen oleh majelis umum dan Dewan Keamanan (DK). Biasanya 5 hakim Mahkamah berasal dari anggota tetap DK PBB, tugasnya untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang disidangkan baik yang bersifat sengketa maupun yang bersifat nasihat.
Mahkamah memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut hukum internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.
Mengenai penanganan Perkara di mahkamahinternasional,Hanya negaralah yang bisa berperkara di Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto [4] adalah anggota Mahkamah Internasional yang karena satu dan lain hal dapat menyatakan diri tunduk kepada kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sengketa diantara mereka. Mahkamah hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
1.    Perjanjian khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya melalui Mahkamah.
2.    Pernyataan yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika suatu negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di dalamnya secara tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul karena ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Ada banyak konvensi internasional yang ada saat ini mencantumkan pasal semacam itu.
3.    Adanya dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect) dari pernyataan negara untuk tunduk kepada kewenangan mahkamah jika muncul sengketa atas peristiwa hukum tertentu yang sama dengan pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan bersengketa dengan negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut.
4.    Jika terjadi keragu-raguan apakah Mahkamah memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka Mahkamah punya kebebasan untuk menentukan apakah akan menangani perkara itu atau tidak.
Masalah yuridiksi atau kewenangan suatu pengadilan dakam hukum internasional merupakan masalah utama dan sangat mendasar.kompetensi suatu mahkamah atau pengadilan internasional pada prinsipnya didasarkan pada kesepakatan dari negara- negara yang mendirikannya, berdirinya suatu mahkamah atau pengadilan internasional didasarkan pada suatu kesepakatan atau perjanjian internasional.
Biasanya perjanjian internasional ini menentukan pula siapa saja yang berhak menyerahkan sengketanya kepada pengadilan (ratione personae)[5] dan sengketa-sengketa apa saja yang biasa diserahkan dan diadili oleh pengadilan. Contohnya pertikaian antara indonesia- Australia mengenai landas kontinen kedua negara, tidak begitu saja diserahkan kepada The Eropean Court Of Human Right, yang khusus mengadili sengketa-sengketa pelanggaran hak asasi manusia diantara negara-negara the European Community.  Yurisdiksi Mahkamah Internasional mencakup dua hal :
1.    Yurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkanny (contentious jurisdiction).
2.    Noncontentious jurisdiction atau yurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (advisory jurisdiction).
a.    Contentious Jurisdiction
Yurisdiksi mahkamah ini merupakan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa atara dua Negara atau lebih, sengketa hukum yang memungkinkan diterapkannya aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum internasional terhadapnya. Pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa Negara sejalah yang bias menyerahkan sengketanya ke Mahkama. Dengan kata lain subyek-subyek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional,perusahaan multinasional,orang perorangan,pihak yang bersengketa, dan lain-lain tidak bias meminta mahkamahuntuk menyelesaikan sengketanya.
Jika  individu atau perusahaan merasa dirugikan oleh adanya tindakan Negara lain maka agar sengketa tersebut dapat diserahkan dan tangani oleh Mahkamah, negara individu atau negara tempat perusahaan didaftarkan dapat mengambil alih sengketa tersebut dan mengajukannya kepada Mahkamah.
Meskipun suatu negara adalah pihak atau peserta pada statute dan berhak untuk memanfaatkan proses persidangan hukum persidangan mahkamah. Namun tidak ada suatu negara pun dapat dipaksakan untuk menyelesaikan sengketanya kepada mahkamah tanpa kesepakatan negara itu sendiri[6].
Menurut Pasal 4 ayat 3 statuta , Dewan Keamanan PBB dapat mengajukan agar para pihak menyerahkan sengketanya kepada mahkamah, namun anjuran tersebut tidak dapat memaksa negara-negara agar sengketa mereka diselesaikan oleh mahkamah, kesepakatan negara merupakan dasar dari yurisdiksi mahkamah.
Rekomendasi Dewan Keamanan sempat menarik perhatian ketika inggris dan Albania bersengketa[7]. Dalam sengketa ini Dewan Keamanan memberikan rekomendasi agar inggris dan Albania menyerahkan sengketanya kepada ICJ (internasional court of justice). Inggris berpendapat bahwa rekomendasi Dewan Keamanan merupakan alasan yang cukup untuk memberyurisdiksi kepada Mahkamah untuk mendengar dan memutus sengketa.
Namun ICJ berpandangan lain.ICJ melihat kehadiran Albania di sidan ICJ sudah menunjukkan bahwa negara tersebut telah menyepakati (secaradiam-diam) yurisdiksi ICj. Mayoritas hakim ICJ pada waktu itu tidak begitu memperdulikan argumentasi inggris tentang Statute Rekomendasi Dewan keamanan, namun demikian terdapat 7 hakim yang menyatakan bahwa pendapat inggris diatas keliru, alasan mereka  rekomendasi Dewan Keamanan tersebut tidak mengikat.
b.    Noncontentious (Advisory) Jurisdiction
            Noncontentious (Advisory) jurisdiction ialah dasar hokum yurisdiksi Mahkamah untuk memberikan nasihat atau pertimbangan (Advisory) hukum kepada organ utama atau organ PBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya, yaitu hanya terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktivitas dari 5 (lima) badan atau hukum utama dan 16 (enam belas) badan khusus PBB. Mahkamah dapat memberikan pendapat atau nasehatnya mengenai setiap masalah hukum yang diserahkan kepadanya atas permohonan badan-badan mana pun yang diberi wewenan sesuai dengan piagam PBB untuk membuat permohonan demikian.
            Pasal 93 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota PBB ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamahinternasional pasal 93 ayat (2) piagam menyatakan bahwa negara-negara non-angota PBB dapat pula menjadi pihak pada statuta mahkamah dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh majelis umum atas rekomendasi dari dewan Keamanan[8].
            Swis misalnya bukan anggota PBB, pada tanggal 11 desember 1946 majelis umum mengesahkan, atas rekomendasi Dewan Keamanan, suatu resolusi 91 (1) 1946. Resolusi ini menyatakan bahwa swis dapat menjadi peserta pada statute ICJ dengan syarat-syarat berikut:
1.    Menerima ketentuan – ketentua statute ICJ.
2.    Menerima semua kewajiban sebagai anggota PBB berdasarkan pasal 94 pigam[9]
3.    Bersedia membayar ongkos-ongkos Mahkamahyang jumlahnya akan ditentukan oleh Majelis Umum dari waktu ke waktu setelah berkonsultasi dengan pemerintah Swis.
            Swis menerima persyaratan-persyaratan tersebut yang menyatakan dalam suatu dokumen yang diserahkan kepada secretariat PBB pada tanggal 28 juli 1948. Negara Liechtenstein dan San Marino menjadi peserta statute ICJ dengan persyaratan-persyaratan yang sama dengan menyerahkan pernyataan (deklarasi) penerimaan kepada secretariat PBB pada tanggal 29 maret 1950 dan 18 februari 1954.
c.    Sumber Hukum Mahkamah Internasional
            Statuta mahkamah internasional dengan tegas menyatakan sumber-sumber hukum internasional yang akan mahkamah terapkan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diserahkan kepadanya, sumber hukum tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) statuta mahkamah internasional, yaitu :
a)    Konvensi atau perjanjian internasional, baik yang bersifat umum atau khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hokum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa.
b)    Kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai mana telah dibuktikan sebagai suatu praktik umum yang diterima ssebagai hokum.
c)    Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beragam.
d)    Putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber hukum subside (tambahan) untuk menetapkan kaida-kaidah hukum.
Menurut Moctar Kusuma Admaja, penyebutan sumber-sumber hukum tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum. Klasifikasi yang dapat digunakan adalah bahwa dua urutan pertaama tergolong ke dalam sumber hukum utama atau primer, dua lainnya adalah sumber hukum tambahan atau subside.[10].
Adanya dua penggolongan tersebut secara teori menunjukkan bahwa Mahkamahpertama-tama akan menggunakan sumber hokum utama terlebih dahulu (perjanjian internasional) baru manakalah memeriksa sengketa dengan mengguanakan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Selanjutnya  jika sumber hukum tersebut kurang memberi gambaran maka sumber hukum subside akan berfungsi, yaitu prinsip-prinsip hukum umum dan putusan pengadilan terdahulu serta pendapat para ahli (doktrin).
Menurut piagam PBB asas-asas hukum umum tidak mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam lingkup internasional. Tetapi  ia mengacu kepada prinsip-prinsip hukum umum yang terdapat dalam hukum nasional atau terefleksikan dalam konsep-konsep dasar dari negara-negara beradap.
Moctar kusuma Atmadja menggungkapkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum adalah asas-asas hukum yang mendasari system hukum modern. Yang  dimadsud  system hukum modern adalah system hukum positif yang didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Negara barat yang sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum romawi. Mahkamah akan menggunakan norma-norma hukum ini untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Adapun kasus-kasus yang perna disidangkan didepan mahkamah internasional :
1.    Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro);
2.    Gabčíkovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia);
3.    Ahmadou Sadio Diallo (Republic of Guinea v. Democratic Republic of Congo);
4.    Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Croatia v. Serbia and Montenegro);
5.    Maritime Delimitation between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras);
6.    Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia);
7.    Certain Criminal Proceedings in France (Republic of the Congo v. France);
8.    Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks and South Ledge(Malaysia/Singapore);
9.    Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine);
10. Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua);
2.3.2.2 International Criminal Court (ICC)
Statuta Roma  atau the Rome Statute adalah constituent instrument bagi berlakunya International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional (MPI) yang berlaku secara efektif pada tanggal 1 Juli 2002 setelah Senegal meratifikasinya pada tanggal 1 Juli 2001. Jenis kejahatan yang yang diatur dan menjadi yurisdiksi ICC adalah kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan agresi yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 Statuta. Keempat jenis kejahatan tersebut pada saat sekarang telah menjadi jenis-jenis atau Prototipe dari kejahatan internasional yang paling serius di muka bumi .
            Jenis kejahatan dalam ICC yaitu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan agresi memiliki dasar pembenar (opinion jurist) yang memiliki akuntabilitas hukum yang diterima secara umum. Kriminalisasi ketiga jenis kejahatan tersebut berasal dari konsensus masyarakat internasional ataupun dari kebiasaan internasional yang menempatkan individu sebagai pelaku utama sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam kapasitas aktif maupun pasif mereka. Akuntabilitas pertanggung jawaban pidana bagi individu yang telah melakukan kejahatan internasional di dalam ICC tersebut ditujukan tidak hanya kepada korban, keadilan, tetapi juga untuk dan atas nama masyarakat internasional secara keseluruhan.
            Dengan demikian, asumsi pembenaran (opinio juris necesitatis) dan praktek internasional (practice)  menjadikan pengaturan jenis kejahatan dalam ICC memiliki akuntabilitas hukum yang sangat tinggi karena didasari pada prinsip-prinsip tersebut di bawah ini :
1.    Adanya tanggung jawab individu bagi kejahatan perang;
2.    Tanggung jawab individu tersebut berlaku juga pada hukum internasional;
3.    Kepala Negara tidak lagi kebal terhadap penuntutan terhadap kejahatan perang;
4.    Perintah atasan atau jabatan tidak bisa lagi digunakan sebagai alasan pembenar untuk mealukan kejahatan perang;
5.    Terdakwa pelaku kejahatan perang memiliki hak untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair;
6.    Keikutsertaan dalam kejahatan perang termasuk juga dalam kategori kejahatan berdasar hukum internasional.
2.3.2.3. Pengadilan Pidana Internasional Untuk Bekas Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY))
Berbeda dari Mahakamah Internasional yang merupakan suatu peradilan tetap, organ hukum utama PBB, ICTY adalah mahkamah yang didirikan oleh suatu keputusan Dewan Keamanan PBB yang bertindak di bawah Bab VII Piagam berkenan dengan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional. Demikianlah melalui resolusi dewan keamanan no. 827 tanggal 25 Mei 1993, PBB membentuk The International Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran-pelanggaran berat hukum humaniter di wilayah bekas Yugoslavia. Sesuai mandatnya, yurisdiksi Mahkamah terbatas baik dari segi waktu maupun gografis. Mahkamah tidak dapat mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum tahun 1991 atau kejahatan-kejahatan yang telah terjai atau terjadi di luar wilayah negara bekas Yugoslavia. Yurisdiksi mahkamah meliputi komponen-komponen dasar hukum humaniter internasional, yaitu pelanggaran-pelanggaran berat terhnadap konvensi-konvensi Jenewa 1949, pelanggaran terhadap kemanusiaan, dan tindakan-tindakan genosida.
Mahkamah mempunyai 16 hakim tetap yang dipilih oleh majelis umum PBB untuk masa jabatan 4 tahun. Dua dari hakim-hakim tersebut dipilih oleh Sekertaris Jenderal PBB.mahkamah diketuai oleh Mr. Theodor Meron asal Amerika Serikat yang dipilih pada tanggal 14 Maret 2000 bersama dengan hakim-hakim lainnya. Di samping itu, melalui resolusi Dewan Keamanan No. 1329 dibentuk pula kelompok hakim-hakim ad litem sebanyak 27 orang oleh majelis umum untuk masa jabatan 4 tahun mengingat beratnya tugas yang dilaksanakan oleh mahkamah.
Tidak seperti Mahkamah Nuremberg, ICTY tidak dapat memeriksa perkara secara in absensia. Jika pengadilan tidak mampu menghadirkan terdakwa, maka penuntut dapat mempresentasikan kasusnya ke majelis pemeriksa. Berdasarkan bukti yang ada, selanjutnya majelis akan menentukan ada atau tidaknya dasar yang rasional untuk mempercayai bahwa terdakwa melakukan kejahatan dan dapat mengeluarkan jaminan penahanan internasional yang diberikan kepada semua negara. Prosedur ini dapat dipandang sebagai quasi-in absensia. Sampai sekarang ini, jumlah terdakwa yang telah diperiksa adalah sebanyak 35 orang dengan 32 orang di antaranya dijatuhi hukuman pidana, sedangkan tiga lainnya dibebaskan[11].
Demikianlah pembentukan mahkamah ini telah merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan pengukuhan hukum humaniter internasional dan sekaligus mengingatkan kepada para pelanggar berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang akan datang bahwa mereka tidak akan bebas begitu saja dan aka nada mahkamah pidana internasional yang akan menuntut dan mengadili mereka.
2.3.2.4. Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR))
Kekerasan yang membinasakan Rwanda sejak awal 1994 menyebabkan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sejumlah resolusi yang memberi peringatan telah terjadinya pelanggaran hukum humaniter internasional dan menentukan bahwa konflik tersebut telah menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 995 tanggal 8 November 1994 dibentuklah International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang berlokasi di Arusha, Tanzania[12]. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan-kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang-orang Rwanda di negara-negara tetangga, khususnya yang dilakukan oleh ekstrimis Suku Hutu sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember 1994.
Mahkamah pada mulanya mempunyai 6 hakim tetap yang dipilih oleh Majelis Umum PBB pada bulan Mei 1995. Selanjutnya melalui resolusi Dewan Keamanan No. 1165 (1998) memutuskan untuk membentuk Trial Chamber ke-3 dengan menambah 3 hakim lagi sehingga 9. Kemudian melalui resolusi Dewan Kemanan No. 1329 (2000) ditambah lagi 2 hakim sehingga menjadi 11. Mahkamah diketuai oleh Mr. Eric Mose asal Norwegia. Disamping hakim-hakim tetap ini Dewan Keamanan melalui resolusi No. 1431 (2002) membentuk pula kelompok hakim-hakim ad litem sebanyak 18 orang yang dipilih oleh Majelis Umum.
Melalui Statuta ICTR inilah secara tegas-tegas dirumuskan bahwa crimes against humanity tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata (war crimes). Jadi bisa terjadi di masa perang atau masa damai (no nexus with and armed conflict). Adapun persamaan dan perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut: Pertama, baik ICTY maupun ICTR keduanya dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB. Kedua, ICTR maupun ICTY merupakan subsidiary organs Dewan Keamanan. Ketiga, baik ICTY maupun ICTR memiliki struktur yang sama[13].
Sementara perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut: pertama, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan baik dalam international armed conflict maupun internal armed conflict, sedangkan ICTR memiliki jurisdiksi hanya terhadap kejahatan yang dilakukan dalam internal armed conflict. Kedua, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan di dalam suatu konflik bersenjata, sedangkan ICTR mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan on national, political, athnics, racial, or other religion ground. Dengan demikian hal ini dilakukan dengan sengaja untuk melakukan diskriminasi. Ketiga, ICTY mempunyai yurisdkisi terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah “bekas Yugoslavia” sejak 1991, sedangkan ICTR memiliki Yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di Rwanda atau negara-negara tetangga Rwanda. Keempat, prosedur beracara ICTY mengikuti common law system, sedangkan ICTR mengikuti campuran antara common law dan civil law system[14]. Jumlah terdakwa yang diperiksa dalam ICTR sebanyak 16 orang dan 1 orang di antaranya diputus bebas sedang yang lain dijatuhi pidana dengan jumlah pidana terbanyak yang dijatuhkan adalah pidana penjara seumur hidup[15].


[1] Huala Adolf,hukum penyelesaian sengketa internasional,Jakarta:sinar grafika,2004. Hal 58
[2] http://bennysetianto.blogspot.com/2006/05/mahkamah-internasional.html akses pada tanggal 24 Mei, 2010, pukul 20.15 WIB
[3] PCIJ (permanent court of internasional of justice)pendahulu dari ICJ, yang dibentuk berdasarkan pasal 14 konvenan liga bangsa bangsa pada tahun 1922.
[4] ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamahinternasional pasal 91 konvensi WINA 1969 tentang konvensi internasional.
[5] ratione personae  adalah pihak yang berhak menyerahkan sengketanya
[6]Huala adolf,hukum penyelesaian sengketa internasional,bandung,2004. Hal 69
[7] Dalam  the corfu chanel case,1948
[8] Dimungkinkannya Negara-negara yang bukan menjadi anggota PBB untuk menjadi anggota ICJ merupakan pengecualian terhadap prinsip hukum perjanjian internasional pacta tertis nec nocent nec prosunt,yang berarti bahwa perjanjian mengikat hanya terhadap para pihak yang membuat dan mengikatkan dirinya . ia tidak mengikat pihak ketiga yang berada diluar kesepakatan para pihak yang membuatnya.
[9] Pasal 94 piagam mensyaratkan smua anggota PBB untuk  menaati putusan yang dikeluarkan oleh MahkamahInternasional.
[10] Moctar Kusuma Admadja.op.cit., hlm 108
[11] Ibid,hal. 81.
[12] Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalamm Era Dinamika Global, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, hal.285.
[13] Mappasessu, 2005, Perbandingan Yurisdiksi Antara International Criminaal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR),skripsi, sarjana hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hal. 62-65.
[14] Ibid,
[15] Dian Primayadi,2005, Pelaksanaan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) Serta Manfaatnya Terhadap Perkembangan Hukum di Bidang Kejahatan Internasional, skripsi, sarjana hukum, Fakultas \Hukum Universitass Hasanuddin, hal. 83.