Makalah Hukum Internasional : Tata Cara Penyelesaian Sengketa Internasional
Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Yudisial
Penyelesaian
yudisial berarti suatu penyelesaian dihadirkan melalui suatu pengadilan
yudisial internasional yang dibentuk sebagai mana mestinya dengan
memberlakukan kaedah-kaedah hukum. Metode Penyelesaian
sengketa internasionaal adalah melalului pengadilan. Penggunaan cara
ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata
tidak berhasil.
Pengadilan
dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pengadilan permanen dan
pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Contoh pengadilan
internasional adalah mahkamah internasional( internasional court of
justice/ ICJ) dan mahkamahpidan internasional ( internasional criminal
court / ICC). Contoh pngadilan ad hoc atau pengadilan khusus adalah mahkamahinternasional untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda (Internasional Criminal Tribunal For The Farmer Yugoslavia / ICTY) dan ( Internasional Criminal Tribuna for Rwanda / ICTR). Pengadilan ad-hoc ini mempunya mandat terbatas pada waktu dan wilayahnya.
2.3.2. Penyelesaian Melalui Badan Peradilan Internasional
Salah satu alternative penyelesaian sengketa internasional secara hukum atau judicial settlement seperti yang telah diuraikan diatas adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional (world court atau internasional court)[1].
2.3.2.1. Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) adalah organ yuridis dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Kedudukan Mahkamah berada di Istana Perdamaian (Peace Palace) di kota Den Haag, Belanda. Mahkamah ini sejak tahun 1946 telah menggantikan posisi dari Mahkamah Permanen untuk Keadilan Internasional (Permanent Court of International Justice)
yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Statuta Mahkamah Internasional
menjadi bagian yang tidakk terpisahkan dengan Piagam PBB.[2]
Mahkamah internasional adalah organ utama lembaga kehakiman PBB, yang kedudukan di Den Haag, Belanda. Mahakamah ini mulai berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti MIP (mahkamahinternasional permanen)[3].
Fungsi utama MI adalah untuk menjelaskan kasus-kasus persengkataan
intersional yang subjeknya adalah negara. Statuta adalah hukum-hukum
yang terkandung.
Pasal 9
Statuta Mahkamahinternasional menjelaskan, komposisi ICJ terdiri dari 15
hakim. Ke-15 calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota
yang dinilai cakap dibidang hukum internasional, untuk memilih anggota
mahkamah dilakukan pemungutan suara secara independen oleh majelis umum
dan Dewan Keamanan (DK). Biasanya 5 hakim Mahkamah berasal dari anggota
tetap DK PBB, tugasnya untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang
disidangkan baik yang bersifat sengketa maupun yang bersifat nasihat.
Mahkamah
memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut hukum
internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara
dan memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang
diberikan oleh organisasi-organisasi internasional dan agen-agen
khususnya.
Mengenai penanganan Perkara di mahkamahinternasional,Hanya negaralah yang bisa berperkara di Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto [4] adalah
anggota Mahkamah Internasional yang karena satu dan lain hal dapat
menyatakan diri tunduk kepada kewenangan Mahkamah untuk memutuskan
sengketa diantara mereka. Mahkamah hanya punya kewenangan untuk
mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan
mahkamah melalui:
1. Perjanjian khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya melalui Mahkamah.
2. Pernyataan
yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika
suatu negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di
dalamnya secara tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul
karena ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui
Mahkamah Internasional. Ada banyak konvensi internasional yang ada saat
ini mencantumkan pasal semacam itu.
3. Adanya dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect)
dari pernyataan negara untuk tunduk kepada kewenangan mahkamah jika
muncul sengketa atas peristiwa hukum tertentu yang sama dengan
pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan bersengketa dengan
negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut.
4. Jika
terjadi keragu-raguan apakah Mahkamah memiliki kewenangan terhadap
penanganan suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka Mahkamah punya
kebebasan untuk menentukan apakah akan menangani perkara itu atau tidak.
Masalah
yuridiksi atau kewenangan suatu pengadilan dakam hukum internasional
merupakan masalah utama dan sangat mendasar.kompetensi suatu mahkamah
atau pengadilan internasional pada prinsipnya didasarkan pada
kesepakatan dari negara- negara yang mendirikannya, berdirinya suatu
mahkamah atau pengadilan internasional didasarkan pada suatu kesepakatan
atau perjanjian internasional.
Biasanya perjanjian internasional ini menentukan pula siapa saja yang berhak menyerahkan sengketanya kepada pengadilan (ratione personae)[5] dan
sengketa-sengketa apa saja yang biasa diserahkan dan diadili oleh
pengadilan. Contohnya pertikaian antara indonesia- Australia mengenai
landas kontinen kedua negara, tidak begitu saja diserahkan kepada The Eropean Court Of Human Right, yang khusus mengadili sengketa-sengketa pelanggaran hak asasi manusia diantara negara-negara the European Community. Yurisdiksi Mahkamah Internasional mencakup dua hal :
1. Yurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkanny (contentious jurisdiction).
2. Noncontentious jurisdiction atau yurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (advisory jurisdiction).
a. Contentious Jurisdiction
Yurisdiksi
mahkamah ini merupakan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa atara
dua Negara atau lebih, sengketa hukum yang memungkinkan diterapkannya
aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum internasional terhadapnya. Pasal
34 dengan tegas menyatakan bahwa Negara sejalah yang bias menyerahkan
sengketanya ke Mahkama. Dengan kata lain subyek-subyek hukum
internasional lainnya seperti
organisasi internasional,perusahaan multinasional,orang
perorangan,pihak yang bersengketa, dan lain-lain tidak bias meminta
mahkamahuntuk menyelesaikan sengketanya.
Jika individu
atau perusahaan merasa dirugikan oleh adanya tindakan Negara lain maka
agar sengketa tersebut dapat diserahkan dan tangani oleh Mahkamah,
negara individu atau negara tempat perusahaan didaftarkan dapat
mengambil alih sengketa tersebut dan mengajukannya kepada Mahkamah.
Meskipun suatu negara adalah pihak atau peserta pada statute dan berhak untuk memanfaatkan proses persidangan hukum persidangan mahkamah. Namun tidak ada suatu negara pun dapat dipaksakan untuk menyelesaikan sengketanya kepada mahkamah tanpa kesepakatan negara itu sendiri[6].
Menurut Pasal 4 ayat 3 statuta , Dewan Keamanan PBB dapat mengajukan agar para pihak menyerahkan sengketanya kepada mahkamah, namun anjuran tersebut tidak dapat memaksa negara-negara agar sengketa mereka diselesaikan oleh mahkamah, kesepakatan negara merupakan dasar dari yurisdiksi mahkamah.
Rekomendasi Dewan Keamanan sempat menarik perhatian ketika inggris dan Albania bersengketa[7]. Dalam sengketa ini Dewan Keamanan memberikan rekomendasi agar inggris dan Albania menyerahkan sengketanya kepada ICJ (internasional court of justice). Inggris berpendapat bahwa rekomendasi Dewan Keamanan merupakan alasan yang cukup untuk memberi yurisdiksi kepada Mahkamah untuk mendengar dan memutus sengketa.
Namun ICJ berpandangan
lain.ICJ melihat kehadiran Albania di sidan ICJ sudah menunjukkan bahwa
negara tersebut telah menyepakati (secaradiam-diam) yurisdiksi ICj. Mayoritas hakim ICJ pada waktu itu tidak begitu memperdulikan argumentasi inggris tentang Statute Rekomendasi Dewan
keamanan, namun demikian terdapat 7 hakim yang menyatakan bahwa
pendapat inggris diatas keliru, alasan mereka rekomendasi Dewan
Keamanan tersebut tidak mengikat.
b. Noncontentious (Advisory) Jurisdiction
Noncontentious (Advisory) jurisdiction ialah dasar hokum yurisdiksi Mahkamah untuk memberikan nasihat atau pertimbangan (Advisory) hukum kepada organ utama atau organ PBB lainnya. Nasihat hukum
yang diberikan terbatas sifatnya, yaitu hanya terkait dengan ruang
lingkup kegiatan atau aktivitas dari 5 (lima) badan atau hukum utama dan
16 (enam belas) badan khusus PBB. Mahkamah dapat memberikan pendapat
atau nasehatnya mengenai setiap masalah hukum yang diserahkan kepadanya
atas permohonan badan-badan mana pun yang diberi wewenan sesuai dengan
piagam PBB untuk membuat permohonan demikian.
Pasal 93 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota PBB ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamahinternasional pasal 93 ayat (2) piagam menyatakan bahwa negara-negara non-angota PBB dapat pula menjadi pihak pada statuta mahkamah dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh majelis umum atas rekomendasi dari dewan Keamanan[8].
Swis misalnya
bukan anggota PBB, pada tanggal 11 desember 1946 majelis umum
mengesahkan, atas rekomendasi Dewan Keamanan, suatu resolusi 91 (1)
1946. Resolusi ini menyatakan bahwa swis dapat menjadi peserta pada
statute ICJ dengan syarat-syarat berikut:
1. Menerima ketentuan – ketentua statute ICJ.
2. Menerima semua kewajiban sebagai anggota PBB berdasarkan pasal 94 pigam[9]
3. Bersedia
membayar ongkos-ongkos Mahkamahyang jumlahnya akan ditentukan oleh
Majelis Umum dari waktu ke waktu setelah berkonsultasi dengan pemerintah
Swis.
Swis menerima
persyaratan-persyaratan tersebut yang menyatakan dalam suatu dokumen
yang diserahkan kepada secretariat PBB pada tanggal 28 juli 1948. Negara
Liechtenstein dan San Marino menjadi peserta statute ICJ dengan
persyaratan-persyaratan
yang sama dengan menyerahkan pernyataan (deklarasi) penerimaan kepada
secretariat PBB pada tanggal 29 maret 1950 dan 18 februari 1954.
c. Sumber Hukum Mahkamah Internasional
Statuta mahkamah internasional dengan tegas menyatakan sumber-sumber hukum internasional yang akan mahkamah terapkan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diserahkan kepadanya, sumber hukum tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) statuta mahkamah internasional, yaitu :
a) Konvensi
atau perjanjian internasional, baik yang bersifat umum atau khusus,
yang mengandung ketentuan-ketentuan hokum yang diakui secara tegas oleh
negara-negara yang bersengketa.
b) Kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai mana telah dibuktikan sebagai suatu praktik umum yang diterima ssebagai hokum.
c) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beragam.
d) Putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber hukum subside (tambahan) untuk menetapkan kaida-kaidah hukum.
Menurut Moctar Kusuma Admaja, penyebutan sumber-sumber hukum
tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber
hukum. Klasifikasi yang dapat digunakan adalah bahwa dua urutan pertaama
tergolong ke dalam sumber hukum utama atau primer, dua lainnya adalah sumber hukum tambahan atau subside.[10].
Adanya dua penggolongan
tersebut secara teori menunjukkan bahwa Mahkamahpertama-tama akan
menggunakan sumber hokum utama terlebih dahulu (perjanjian internasional) baru manakalah memeriksa sengketa dengan mengguanakan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Selanjutnya jika sumber hukum tersebut kurang memberi gambaran
maka sumber hukum subside akan berfungsi, yaitu prinsip-prinsip hukum
umum dan putusan pengadilan terdahulu serta pendapat para ahli (doktrin).
Menurut piagam PBB asas-asas hukum umum tidak mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam lingkup internasional. Tetapi ia
mengacu kepada prinsip-prinsip hukum umum yang terdapat dalam hukum
nasional atau terefleksikan dalam konsep-konsep dasar dari negara-negara
beradap.
Moctar kusuma Atmadja menggungkapkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum adalah asas-asas hukum yang mendasari system hukum modern. Yang dimadsud system hukum modern adalah system hukum positif yang didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Negara barat yang
sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum
romawi. Mahkamah akan menggunakan norma-norma hukum ini untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Adapun kasus-kasus yang perna disidangkan didepan mahkamah internasional :
1. Application
of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro);
2. Gabčíkovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia);
3. Ahmadou Sadio Diallo (Republic of Guinea v. Democratic Republic of Congo);
4. Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Croatia v. Serbia and Montenegro);
5. Maritime Delimitation between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras);
6. Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia);
7. Certain Criminal Proceedings in France (Republic of the Congo v. France);
8. Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks and South Ledge(Malaysia/Singapore);
9. Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine);
10. Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua);
2.3.2.2 International Criminal Court (ICC)
Statuta Roma atau the Rome Statute adalah constituent instrument bagi berlakunya International Criminal Court (ICC) atau
Mahkamah Pidana Internasional (MPI) yang berlaku secara efektif pada
tanggal 1 Juli 2002 setelah Senegal meratifikasinya pada tanggal 1 Juli
2001. Jenis kejahatan yang yang diatur dan menjadi yurisdiksi ICC adalah
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan
kejahatan agresi yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 Statuta. Keempat jenis
kejahatan tersebut pada saat sekarang telah menjadi jenis-jenis atau Prototipe dari kejahatan internasional yang paling serius di muka bumi .
Jenis kejahatan dalam ICC yaitu
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan agresi
memiliki dasar pembenar (opinion jurist) yang memiliki akuntabilitas
hukum yang diterima secara umum. Kriminalisasi ketiga jenis kejahatan
tersebut berasal dari konsensus masyarakat internasional ataupun dari
kebiasaan internasional yang menempatkan individu sebagai pelaku utama
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam kapasitas aktif
maupun pasif mereka. Akuntabilitas pertanggung jawaban pidana bagi
individu yang telah melakukan kejahatan internasional di dalam ICC tersebut
ditujukan tidak hanya kepada korban, keadilan, tetapi juga untuk dan
atas nama masyarakat internasional secara keseluruhan.
Dengan demikian, asumsi pembenaran (opinio juris necesitatis) dan praktek internasional (practice) menjadikan
pengaturan jenis kejahatan dalam ICC memiliki akuntabilitas hukum yang
sangat tinggi karena didasari pada prinsip-prinsip tersebut di bawah ini
:
1. Adanya tanggung jawab individu bagi kejahatan perang;
2. Tanggung jawab individu tersebut berlaku juga pada hukum internasional;
3. Kepala Negara tidak lagi kebal terhadap penuntutan terhadap kejahatan perang;
4. Perintah atasan atau jabatan tidak bisa lagi digunakan sebagai alasan pembenar untuk mealukan kejahatan perang;
5. Terdakwa pelaku kejahatan perang memiliki hak untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair;
6. Keikutsertaan dalam kejahatan perang termasuk juga dalam kategori kejahatan berdasar hukum internasional.
2.3.2.3. Pengadilan Pidana Internasional Untuk Bekas Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY))
Berbeda dari
Mahakamah Internasional yang merupakan suatu peradilan tetap, organ
hukum utama PBB, ICTY adalah mahkamah yang didirikan oleh suatu
keputusan Dewan Keamanan PBB yang bertindak di bawah Bab VII Piagam
berkenan dengan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional.
Demikianlah melalui resolusi dewan keamanan no. 827 tanggal 25 Mei 1993,
PBB membentuk The International Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) untuk
mengadili kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran-pelanggaran berat
hukum humaniter di wilayah bekas Yugoslavia. Sesuai mandatnya,
yurisdiksi Mahkamah terbatas baik dari segi waktu maupun gografis.
Mahkamah tidak dapat mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum
tahun 1991 atau kejahatan-kejahatan yang telah terjai atau terjadi di
luar wilayah negara bekas Yugoslavia. Yurisdiksi mahkamah meliputi
komponen-komponen dasar hukum humaniter internasional, yaitu
pelanggaran-pelanggaran berat terhnadap konvensi-konvensi Jenewa 1949,
pelanggaran terhadap kemanusiaan, dan tindakan-tindakan genosida.
Mahkamah
mempunyai 16 hakim tetap yang dipilih oleh majelis umum PBB untuk masa
jabatan 4 tahun. Dua dari hakim-hakim tersebut dipilih oleh Sekertaris
Jenderal PBB.mahkamah diketuai oleh Mr. Theodor Meron asal Amerika
Serikat yang dipilih pada tanggal 14 Maret 2000 bersama dengan
hakim-hakim lainnya. Di samping itu, melalui resolusi Dewan Keamanan No.
1329 dibentuk pula kelompok hakim-hakim ad litem sebanyak 27 orang oleh majelis umum untuk masa jabatan 4 tahun mengingat beratnya tugas yang dilaksanakan oleh mahkamah.
Tidak seperti Mahkamah Nuremberg, ICTY tidak dapat memeriksa perkara secara in absensia. Jika
pengadilan tidak mampu menghadirkan terdakwa, maka penuntut dapat
mempresentasikan kasusnya ke majelis pemeriksa. Berdasarkan bukti yang
ada, selanjutnya majelis akan menentukan ada atau tidaknya dasar yang
rasional untuk mempercayai bahwa terdakwa melakukan kejahatan dan dapat
mengeluarkan jaminan penahanan internasional yang diberikan kepada semua
negara. Prosedur ini dapat dipandang sebagai quasi-in absensia. Sampai
sekarang ini, jumlah terdakwa yang telah diperiksa adalah sebanyak 35
orang dengan 32 orang di antaranya dijatuhi hukuman pidana, sedangkan
tiga lainnya dibebaskan[11].
Demikianlah
pembentukan mahkamah ini telah merupakan sumbangan yang sangat berarti
bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan pengukuhan hukum
humaniter internasional dan sekaligus mengingatkan kepada para pelanggar
berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang akan datang bahwa mereka tidak akan
bebas begitu saja dan aka nada mahkamah pidana internasional yang akan
menuntut dan mengadili mereka.
2.3.2.4. Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR))
Kekerasan yang
membinasakan Rwanda sejak awal 1994 menyebabkan Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan sejumlah resolusi yang memberi peringatan telah terjadinya
pelanggaran hukum humaniter internasional dan menentukan bahwa konflik
tersebut telah menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan
internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 995 tanggal
8 November 1994 dibentuklah International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang berlokasi di Arusha, Tanzania[12].
ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang
bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan-kejahatan berat
lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh
orang-orang Rwanda di negara-negara tetangga, khususnya yang dilakukan
oleh ekstrimis Suku Hutu sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember 1994.
Mahkamah pada
mulanya mempunyai 6 hakim tetap yang dipilih oleh Majelis Umum PBB pada
bulan Mei 1995. Selanjutnya melalui resolusi Dewan Keamanan No. 1165
(1998) memutuskan untuk membentuk Trial Chamber ke-3 dengan menambah 3
hakim lagi sehingga 9. Kemudian melalui resolusi Dewan Kemanan No. 1329
(2000) ditambah lagi 2 hakim sehingga menjadi 11. Mahkamah diketuai oleh
Mr. Eric Mose asal Norwegia. Disamping hakim-hakim tetap ini Dewan
Keamanan melalui resolusi No. 1431 (2002) membentuk pula kelompok
hakim-hakim ad litem sebanyak 18 orang yang dipilih oleh Majelis Umum.
Melalui Statuta ICTR inilah secara tegas-tegas dirumuskan bahwa crimes against humanity tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata (war crimes). Jadi bisa terjadi di masa perang atau masa damai (no nexus with and armed conflict).
Adapun persamaan dan perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai
berikut: Pertama, baik ICTY maupun ICTR keduanya dibentuk oleh Dewan
Keamanan PBB. Kedua, ICTR maupun ICTY merupakan subsidiary organs Dewan Keamanan. Ketiga, baik ICTY maupun ICTR memiliki struktur yang sama[13].
Sementara
perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut: pertama, ICTY
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan baik dalam international armed conflict maupun internal armed conflict, sedangkan ICTR memiliki jurisdiksi hanya terhadap kejahatan yang dilakukan dalam internal armed conflict. Kedua,
ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya
apabila dilakukan di dalam suatu konflik bersenjata, sedangkan ICTR
mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya
apabila dilakukan on national, political, athnics, racial, or other religion ground. Dengan
demikian hal ini dilakukan dengan sengaja untuk melakukan diskriminasi.
Ketiga, ICTY mempunyai yurisdkisi terhadap kejahatan yang dilakukan di
wilayah “bekas Yugoslavia” sejak 1991, sedangkan ICTR memiliki
Yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di Rwanda atau
negara-negara tetangga Rwanda. Keempat, prosedur beracara ICTY
mengikuti common law system, sedangkan ICTR mengikuti campuran antara common law dan civil law system[14].
Jumlah terdakwa yang diperiksa dalam ICTR sebanyak 16 orang dan 1 orang
di antaranya diputus bebas sedang yang lain dijatuhi pidana dengan
jumlah pidana terbanyak yang dijatuhkan adalah pidana penjara seumur
hidup[15].
[1] Huala Adolf,hukum penyelesaian sengketa internasional,Jakarta:sinar grafika,2004. Hal 58
[2] http://bennysetianto.blogspot.com/2006/05/mahkamah-internasional.html akses pada tanggal 24 Mei, 2010, pukul 20.15 WIB
[3] PCIJ (permanent court of internasional of justice)pendahulu dari ICJ, yang dibentuk berdasarkan pasal 14 konvenan liga bangsa bangsa pada tahun 1922.
[4] ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamahinternasional pasal 91 konvensi WINA 1969 tentang konvensi internasional.
[6]Huala adolf,hukum penyelesaian sengketa internasional,bandung,2004. Hal 69
[7] Dalam the corfu chanel case,1948
[8] Dimungkinkannya
Negara-negara yang bukan menjadi anggota PBB untuk menjadi anggota ICJ
merupakan pengecualian terhadap prinsip hukum perjanjian internasional pacta tertis nec nocent nec prosunt,yang
berarti bahwa perjanjian mengikat hanya terhadap para pihak yang
membuat dan mengikatkan dirinya . ia tidak mengikat pihak ketiga yang
berada diluar kesepakatan para pihak yang membuatnya.
[9] Pasal 94 piagam mensyaratkan smua anggota PBB untuk menaati putusan yang dikeluarkan oleh MahkamahInternasional.
[10] Moctar Kusuma Admadja.op.cit., hlm 108
[11] Ibid,hal. 81.
[12] Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalamm Era Dinamika Global, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, hal.285.
[13] Mappasessu, 2005, Perbandingan
Yurisdiksi Antara International Criminaal Tribunal for the Former
Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR),skripsi, sarjana hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hal. 62-65.
[14] Ibid,
[15] Dian Primayadi,2005, Pelaksanaan
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) Serta Manfaatnya
Terhadap Perkembangan Hukum di Bidang Kejahatan Internasional, skripsi, sarjana hukum, Fakultas \Hukum Universitass Hasanuddin, hal. 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar