Pengertian, Dasar Hukum Dan Syarat Pidana Bersyarat
1.
Pengertian Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat sering
disebut dengan putusan percobaan (voorwaardelijke
veroordeling) dan bukan merupakan salah satu dari jenis pemidanaan karena
tidak disebutkan dalam Pasal 10 KUHP, tetapi ketentuan tentang pidana bersyarat
masih tetap terkait pada Pasal 10 KUHP, khususnya pada pidana penjara dan
kurungan yang keberlakuannya hanya pada batas satu tahun penjara atau kurungan.
Menurut E.Y. Kanter dan S.
R. Sianturi (2002 : 473) kata-kata pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat
adalah :
Sekedar
suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang
bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada
syarat-syarat tertentu.
Pidana
dengan bersyarat, yang dalam praktik hukum sering juga disebut dengan pidana
percobaan, adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang
pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya, pidana yang
dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana
selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat
dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau
dilanggarnya.
Andi
Hamzah dan Siti Rahayu (Tolib Setiady, 2010 : 112) berpendapat mengenai pidana
bersyarat dengan menyatakan bahwa :
Pemidanaan
bersyarat dapat disebut pula pemidanaan dengan perjanjian atau pemidanaan
secara janggelan, dan artinya adalah menjatuhkan pidana kepada seseorang, akan
tetapi pidana ini tak usah dijalani kecuali di kemudian hari ternyata bahwa
terpidana sebelum habis tempo percobaan berbuat suatu tindak pidana lagi atau
melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya oleh hakim, jadi keputusan pidana
tetap ada akan tetapi hanya pelaksanaan pidana itu tidak dilakukan.
Sementara
itu Muladi (2008 : 195) menyatakan bahwa :
Pidana
bersyarat adalah suatu pidana di mana si terpidana tidak usah menjalani pidana
tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar
syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan (pidana
bersyarat ini merupakan penundaan pelaksanaan pidana).
Pidana
bersyarat tidak termasuk jenis pidana pokok maupun pidana tambahan, tetapi
pidana bersyarat merupakan cara penerapan pidana yang dalam pengawasan dan
pelaksanaannya dilakukan di luar penjara. Menjatuhkan pidana bersyarat bukan
berarti membebaskan terpidana, secara fisik terpidana memang bebas dalam arti
tidak diasingkan dalam masyarakat dalam suatu penjara atau lembaga
pemasyarakatan, akan tetapi secara formal statusnya tetap terpidana karena ia
telah dijatuhi pidana hanya saja dengan pertimbangan tertentu pidana itu tidak
perlu dijalani. Pidana akan tetap dijalani apabila ternyata terpidana telah melanggar.
2.
Dasar Hukum Pidana Bersyarat
Di Indonesia sendiri untuk
pertama kalinya diterapkan adanya pidana bersyarat pada tahun 1926 yang
dituangkan dalam STB. 1926 NO. 251 JO 486, akan tetapi baru sejak 1 Januari
1927 dimasukkan ke dalam KUHP berupa ketentuan Pasal 14a sampai 14f.
Dalam Pasal 14a KUHP menentukan :
1)
Jika
dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamanya satu tahun dan dijatuhkan
hukuman kurungan diantaranya tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda,
maka hakim boleh memerintahkan, bahwa hukuman itu tidak dijalankan, kecuali
kalau di kemudian hari ada perintah lain dalam keputusan hakim. Oleh karena
terhukum sebelum jatuh tempo percobaan yang akan ditentukan dalam perintah
pertama membuat perbuatan yang boleh dihukum atau dalam tempo percobaan itu
tidak memenuhi suatu perjanjian yang istimewa, yang akan sekiranya diadakan
dalam perintah itu.
2)
Hakim
juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara
mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda,
tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin
diperintahkan pula akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat
ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai
pengahasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan
bahwa dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal 30 ayat
(2).
3)
Jika
hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai
pidana tambahan.
4)
Perintah
tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan
bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, dan
syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
5)
Perintah
tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang
menjadi alasan perintah itu.
Pasal
14b KUHP menentukan :
1)
Masa
percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506,
dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua
tahun.
2)
Masa
percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan
kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
3)
Masa
percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.
Pasal
14c KUHP menentukan :
1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana
denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan
tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana,
hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang
lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau
pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504,
505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai
tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama
sebagian dari masa percobaan.
3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan
beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.
Pasal
14d KUHP menentukan :
1)
Yang
diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang
menyuruh menjalankan putusan, jika kemidian ada perintah untuk menjalankan
putusan.
2)
Jika
ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan
hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah
penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya
memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat
khusus.
3)
Aturan-aturan
lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukan
lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan bantuan itu,
diatur dengan undang-undang.
Pasal
14e KUHP menentukan :
Atas usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau
atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama,
selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus dalam masa
percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang
diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh
memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu
yang paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.
Pasal
14f KUHP menentukan :
1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka ats usul pejabat tersebut
dalam pasal 14d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat
memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas
namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa
percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi
tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika
terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap,
karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika
memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberika
peringatan itu.
2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak
dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana
dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan
itu kemudian berakhir dengan pemidanan yang memnjadi tetap. Dalam hal itu,
dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh
memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.
Jadi yang dimaksud dalam
Pasal 14a (1) KUHP di atas adalah bahwa dalam pokoknya ialah orang (si
terdakwa) dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali
jika ternyata bahwa terhukum sebelum habis masa percobaan berbuat tindak pidana
atau melanggar perjanjian yang diadakan oelh hakim dengan si terdakwa. Jadi
keputusan penjatuhan hukuman tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman itu tidak
dilakukan.
J.E.
Jonkers (Andi Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, 2006 : 313) berpendapat
bahwa :
Sebaiknya
penerapan pidana bersyarat dilakukan dengan hati-hati sehingga ditentukan di
dalam Pasal 14a (4) KUHP, bahwa pidana bersyarat hanya dijatuhkan jika hakim
berdasarkan penyelidikan yang teliti, yakni bahwa dapat diadakan pengawasan
yang cukup untuk dipenuhi syarat umum, yaitu bahwa terpidana tidak akan
melakukan delik, dan syarat khusus jika sekiranya syarat-syarat itu ada.
Manfaat
penjatuhan pidana dengan bersyarat ini adalah memberikan kesempatan atau
memperbaiki penjahat tanpa harus menjatuhkannya ke dalam penjara, artinya tanpa
membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan di dalam
penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana, terutama
bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu
yang iya tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya, dalam arti bukan
penjahat yang sesungguhnya.
Selanjutnya dalam Pasal 14b
KUHP mengatur tentang lamanya waktu untuk masa percobaan, di mana terpidana
harus menahan diri jangan sampai melanggar syarat-syarat yang diberikan oleh
hakim. Tentang latar belakang ketentuan mengenai batas paling lama satu tahun bagi
penjatuhan pidana yang dapat ditetapkan dengan bersyarat adalah bahwa untuk
perkara-perkara yang lebih berat yang untuk penyelesaiannya dengan pertimbangan
hakim harus menjatuhkan pidana yang lebih berat dari satu tahun, dilihat dari
sudut penjatuhan pidana sebagai pembalasan, tidak ada tempat bagi pidana
bersyarat. Artinya pidana bersyarat itu hanya ditetapkan untuk pemidanaan bagi
perkara-perkara yang lebih ringan, yang dipertimbangkan oleh hakim sebagai
sudah cukup adil (dari sudut pembalasan) jika dijatuhi pidana yang lebih ringan
dengan pidana penjara paling tinggi satu tahun, dan tidak untuk pidana yang
lebih dari satu tahun. Ketentuan batas maksimum satu tahun ini berlatar
belakang bahwa dalam pidana bersyarat sudah tidak terdapat lagi rasa pembalasan,
tetapi lebih menonjolkan maksud perbaikan.
3. Syarat
Pidana Bersyarat
Penjatuhan pidana
bersyarat oleh hakim terhadap terdakawa telah diketahui ada dua jenis syarat
yang harus dipenuhi yaitu syarat umum dan syarat khusus.
a. Persyaratan umum
Syarat umum dalam
putusan percobaan taua pidana bersyarat bersifat imperative, artinya bila hakim
menjatuhkan pidana dengan bersyarat, dalam putusannya itu harus ditetapkan
syarat umum. Dalam syarat umum harus ditetapkan oleh hakim bahwa dalam tenggang
waktu tertentu atau masa percobaan terpidana tidak boleh melakukan tindak
pidana, ketentuan ini diatur dalam Pasal 14c ayat (1) KUHP :
“Dengan perintah yang dimaksud pasal
14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa
terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat
khusus bahwa terpidana tindak pidana,
hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang
lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi”.
Syarat umum
ialah terpidana tidak akan melakukan perbuatan delik. Dalam syarat umum ini
tampak jelas sifat mendidik dalam putusan pidana dengan bersyarat, dan tidak
tampak lagi rasa pembalasan sebagaimana dianut oleh teori pembalsan.
b. Persyaratan khusus
Dalam
persyaratan khusus akan ditentukan oleh hakim jika sekiranya syarat-syarat itu
ada. Hakim boleh menentukan hal-hal berikut :
1)
Pengganti
kerugian akibat yang ditimbulkan oleh dilakukannya tindak pidana baik
seluruhnya maupun sebagian, yang harus dibayarnya dalam tenggang waktu yang
ditetapkan oleh hakim yang lebih pendek dari masa percobaan (Pasal 14 ayat 1
KUHAP).
2)
Dalam
hal hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan
atas pelanggaran ketentuan Pasal 492 KUHP (mabuk di tempat umum), Pasal 504
KUHP (pengemisan), Pasal 505 KUHP (pergelandangan), Pasal 506 KUHP (mucikari),
Pasal 536 KUHP (mabuk di jalan umum), hakim dapat menetapkan syarat-syarat
khusus yang berhubungan dengan kelakuan terpidana (Pasal 14a ayat (2) KUHP).
Syarat-syarat khusus tersebut tidak diperkenankan sepanjang melanggar atau
mengurangi hak-hak terpidana dalam hal berpolitik (kenegaraan) dan menjalankan
agamanya (Pasal 14a ayat (5) KUHP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar